Rabu, 10 Juni 2009

हिदुप अदलाह पेर्जुंगन तंपा हेनतई-हेनतई........

अदुह अकू कापे'। ओरंग कालू लगी कापेक एनाक्न्य न्गापैन या? तिदुर लहो

Selasa, 03 Maret 2009

Apa yang Salah?1 Oleh : Tristyanto Prabowo2

Pengesahan Undang-Undang BHP (Badan Hukum Pendidikan) menuai sejumlah kritik, terutama dari kalangan akademis, termasuk mahasiswa. Kebijakan UU tersebut dinilai sebagian pihak melegalkan liberalisme pendidikan. Benarkah demikian? Apakah konten dari UU tersebut berdampak buruk pada dunia pendidikan dan tidak sejalan dengan nafas reformasi dunia pendidikan yang mendukung penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan dan anti diskriminasi?

Hakekatnya UU BHP muncul untuk mewujudkan amanat dari UU Sikdiknas pasal 53 tahun 2003 yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Tujuannya adalah untuk menghapus diskriminasi antara satuan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah dan masyarakat.

Sehubungan dengan itu, Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan UU tersebut, BHP dikategorikan menjadi tiga yaitu Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP), Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPD), dan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM).

Bagaimana kemudian kebijakan dalam undang-undang tersebut dinilai kurang menguntungkan? Dalam pasal 33 ayat 2 UU BHP dikatakan bahwa pendanaan pendidikan formal BHP adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Khusus bagi BHPP dan BHPPD pemerintah memberikan bantuan paling sedikit dua pertiga dari dana pendidikan formal. Itu pun hanya untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik.

Melihat kebijakan tersebut praktis BHPP dan BHPPD atau yang dulu dikenal dengan sekolah/universitas negeri membebankan biaya yang relatif senilai dengan sekolah swasta. Lebih gampangnya dapat dikatakan pendidikan di sekolah negeri tak akan labih murah dari swasta. Kemudian istilah otonomi satuan pendidikan pun muncul sebagai terminologi yang menjadi dalih perubahan tersebut. Otonomi dalam hal ini diartikan sebagai kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik;

Lain daripada itu, UU BPH memberikan ruang bagi masyarakat untuk menjadi pendiri BPHM hanya dengan akta notaris. Selain itu lembaga pendidikan asing pun diberikan kesempatan yang sama untuk mendirikan BHP di Indonesia melalui kerjasama dengan BHP Inndonesia yang telah ada.

Jika kita menjumpai sejumlah mini market memberikan diskon besar-besaran sebagai salah satu tak tik persaingan usaha, maka kondisi serupa dengan teknik yang berbeda akan kita jumpai antar lembaga pendidikan. Sementara itu, lembaga pendidikan yang sudah terkenal karena kualitasnya yang baik, tak segan “mematok harga” kepada peserta didik demi pendidikan yang berkualitas, atau sekedar prestise. Bukankah sangat disayangkan jika pendidikan terutama yang berkualitas menjadi semakin tak teraih oleh kaum papa.

Di lain pihak UU BHP memberikan jaminan transparansi keuangan penyelenggara pendidikan. Melalui regulasi yang mewajibkan badan hukum pendidikan melakukan publikasi laporan keuangan tahunan di media cetak maupun pemasangan pada papan pengumuman resmi, membuat manajemen finansial lebih transparan. Bagaimana pendapat kamu? Ayo bersuara!

1 Diobrolkan dalam diskusi mingguan UKM Jurnalistik 10 Januari 2009

2 Pengurus UKM Jurnalistik divisi penerbitan

Kamis, 24 Juli 2008

TENTANG BOWO

Blog ini menampung artikel, baik berbentuk opini, karya sastra dan berbagai tulisan ilmiah. Pemilik blog ini aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) jurnalistik di Universitas Muria Kudus (UMK).